Syarat-syarat Penyihir

     
http://muhdysa.blogspot.co.id/2015/12/syarat-syarat-penyihir.html
     Seorang penyihir ketika menjalankan aksinya, ia harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat ini merupakan bentuk perjanjian antara penyihir dengan tuannya, yaitu iblis atau setan. Di antara syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.

  1. Penyihir harus menjual hidupnya kepada setan. Setelah mati, jiwa, nyawa dan seluruh kekayaan yang dimilikinya, mulai dari harta, rumah, benda-benda tidak bergerak hingga keturunan diserahkan kepada setan.
  2. Ia harus terus-menerus melakukan pelanggaran dan menentang Tuhan serta tidak mungkin tergoncangkan dari keyakinan syaithaniyah, meskipun dalam menjalankan syarat ini ia mengalami penderitaan, macam-macam siksaan dan kehinaan yang tiada tara.
  3. Ia harus tidak punya rasa malu, tidak memiliki perasaan atau kepekaan, tidak mengenal kasih sayang, cinta kasih, belas kasihan atau perasaan-perasaan kemanusiaan lainnya.
  4. Ia tidak boleh gemetar atau takut ketika berada dihadapan tuannya, yaitu iblis atau salah satu pengikutnya yang muncul dalam bentuk apapun, atau ketika dihadapkan pada alat pemenggalan kepala atau tali penjerat leher.
  5. Ia tidak boleh gelisah atau marah ketika iblis telat membantunya atau menolak untuk membantu. Ia justru harus terus-menerus  mencari bantuannya dengan segala kekuatannya. Ia juga tidak boleh menggerutu, malas atau menunda-nunda ketika diminta tuannya untuk melakukan sesuatu, meskipun tugas itu menafikan agama, etika, tradisi baik atau undang-undang.
  6. Ia harus yakin seyakin-yakinnya dengan kekuatan setan dan kemampuan para pembantunya dari barisan roh jahat, dengan mentaati perintah-perintahnya dan tunduk pada aturan-aturan setan.
  7. Ia harus memusuhi dengan sengit segala norma agama, memperlihatkan kemarahannya kepada agama, menghinanya, membebaskan diri dari semua kitab langit sekaligus mencampakkannya dengan hina.
  8. Ia harus selalu siap membantu perbuatan-perbuatan dosa, kemaksiatan dan setiap kehinaan.
  9. Ia harus menjadi teladan kehinaan, kejahatan, kerendahan dan perbuatan kotor yang diperagakan dalam pakaian dan cara hidupnya. Ia harus mengharamkan dirinya menggunakan air dan sabun, sehingga badan, pakaian dan tempat tinggalnya berbau tidak sedap dan kotor.
     Syarat-syarat di atas menunjukkan bahwa penyihir dalam kehidupannya senatiasa menyebarkan penderitaan dan kerusakan. Ia merasa nikmat dengan perbuatannya yang jahat. Ia tidak ragu, sedih atau menyesal atas tindakannya yang mengganggu manusia. Penyihir merasa enjoy dan senang dengan keberhasilannya merusak pertanian, perkebunan, dan ternak orang lain, menimbulkan kebakaran, memisahkan suami dan istrinya, menumbulkan kemandulan, mengubah kelamin, menggagalkan perkawinan, merusak janin atau menyababkan orang lain gila atau tidak sehat pikiran dan jiwanya.
     Karena perbuatan para tukang sihir  yang sangat membahayakan, baik menyangkut akidah,pikiran, agama, jiwa maupun kemaslahatan-kemaslahatan lainnya, baik berkaitan dengan perseorangan maupun kemasyarakatan, maka para ulama memutuskan bahwa mereka boleh dibunuh dan darahnya halal, tanpa harus menunggu mereka taubat. Jika ditanyakan, mengapa mereka tidak diberi kesempatan nutuk taubat, sedang orang murtad masih diberi kesempatan? Jawabnya menurut ulama Malikiyah, tukang sihir seperti kaum zindiq (orang yang menolak loyalitasnya kepada Allah, mendukung kemusyrikan dan mengingkari hukum Allah), dan orang zindiq tidak perlu diminta tobat lebih dulu sebelum dibunuh.
     Dalam Sanad Abu Dawud disebutkan riwayat dari Bajalah bin 'Ubdah yang berkata, "Saya pernah menjadi sekretaris 'Umar bin Khaththab setahun sebelum kematiannya mendatangi kami dengan membawa surat perintah yang isinya: 'Bunuhlah setiap penyihir!'"
    Demikian juga riwayat yang diambil dari Hafshah ra. Dalam Muwatha' Imam Malik disebutkan riwayat dari Abdurrahman bin sa'd bin Zurarah yang pernah mendengar riwayat bahwa Hafshah, istri Rasulullah saw. Pernah membunuh budak wanitanya, karena telah menyihirnya. Hukuman mati bagi penyihir dianut oleh mazhab-mazhab besar, seperti 'Umar bin khaththab, 'Utsman bin 'Affan, Ibnu 'Umar, Hafshah, Abu Musa al-Asy'ary, Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad.